Rabu, 18 Juni 2008

Belajar dengan Kematian

Setiap saat kita melihat, mendengar kematian. sayangnya kita pun lebih senang bermain daripada belajar dengan segala kenikmatan yang kita rasakan, namun ketika kematian menghampiri orang yang kita kenal dekat, tiba-tiba kita meninggalkan permainan sejenak. sebegitu hebatkah wujud kematian? Selain masa lampau sebagai satu diantara dua kepastian di dunia ini, tak pernah kita sangka bahwa kematian dapat menjadikan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Bagaimana kita belajar dari kematian?

1. Datangnya kematian yang tidak dapat kita prediksikan, harusnya membuat kita lebih berpacu untuk mengejar dan meraih kemungkinan-kemungkinan yang ada. Bagi kaum agamawan misalnya; kemungkinan yang ada adalah bahwa setelah kematian akan ada kehidupan berikutnya, karena kematian merupakan tempat transit semata. dan dalam kehidupan selanjutnya itu segala tingkah kita akan diperhitungkan untuk mendapatkan ganjaran yang setimpal. Kita yang telah berbuat baik akan mendapatkan hadiah dan kita yang telah berbuat lacur akan mendapat hukuman. Yah, semuanya merupakan pilihan. karena itu dalam segala kemungkinan, laksanakan hal yang kiranya bermanfaat bagi anda dan bagi orang lain.

2. Diri Kematian sebagai suatu kepastian. akan ada akhir atas segala hal, semua menuju satu muara, bagaikan air yang mengalir. Sekiranya yang perlu kita ingat adalah bagaimana proses perjalanan kita menuju harapan? apakah kita selalu menabrak tembok atau apa saja yang ada di depan kita? bahwa aliran kehidupan tidak akan ikut berhenti ketika kita hanya diam mengurung diri, misalnya. Yah, semuanya merupakan pilihan. karena itu dalam aliran kehidupan, laksanakan hal yang kiranya menurut anda benar demi tercapainya harapan.

3. Akhirnya kematian pun kita nikmati sendiri-sendiri. Ruang dan waktu saat datangnya kepastian itu berbeda antara satu orang dengan lainnya, tidak ada yang sama. bahkan untuk model bencana alam, kematian tiap orang berbeda dalam ruang dan waktu. Kemudian apa yang dapat kita banggakan? bersamaan dengan kematian itu semua milik kita lenyap. sungguh merugi ketika kerja keras kita lenyap begitu saja bukan? atau kemudian hasil jerih payah selama ini kita bawa dengan paksa untuk menemani kita? yah semuanya merupakan pilihan. karena itu dalam kesendirian kematian, laksanakanlah hal yang kiranya dapat anda wariskan kepada yang terpilih dengan cinta kasih.

Selasa, 03 Juni 2008

"Pancasila Sakti"



Aku dilahirkan dan dibesarkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, suatu negara besar yang terbentang dari kota Sabang hingga kota Merauke (kecuali Timor timur tentunya), memiliki keanekaragaman budaya yang dapat dilihat dari banyaknya suku bangsa. Kata bung Roma "ada Jawa, batak, sunda, dan lainnya" dan para founding father pun mengamini keanekaragaman yang ada itu adalah merupakan identitas Indonesia untuk kebersamaan, keamanan, kenyamanan serta kesejahteraan.

Sebagai saudara sebangsa dan setanah air, diri ini merasa miris melihat pertengkaran, pertumpahan darah antar saudara. Sudah cukuplah konflik Poso, Aceh, hingga Timor timur. Sempat terfikir apakah mereka semua tidak pernah diajarkan norma bangsa dan pendidikan nasional oleh para orang tua? apapun alasan yang di usung hingga tersulutnya kekacauan, kemarahan antar kelompok tetap tidak dibenarkan. Yang patut diingat adalah bahwa Kita masih tetap saudara, meskipun suku, ras, dan agama kita berbeda.

Saya merasa, para orang tua telah memberikan pendidikan nasional kepada kita, meskipun mungkin belum secara sempurna mereka mengajarkan atau bahkan kita yang kurang serius menangkap inti pendidikan nasional tersebut. Sejak kecil kita mengenal semboyan Bhinneka tunggal ika yang menjelaskan tentang bagaimana jati diri bangsa Indonesia.

Hingga saat ini, tulisan semboyan itu pun masih terpampang jelas di lambang Garuda Indonesia. Secara subyektif saya memahami bahwa ke-bhinneka tunggal ika-an itu merupakan ruh kebangsaan yang di padukan dengan nasionalisme pancasila untuk menjadi cita-cita bersama.

Historia masa kecil, seringkali tiap melaksanakan upacara bendera hanya kita jadikan semacam ritual semata itu pun kalau bukan keterpaksaan karena ketakutan kita pada bapak/ibu guru. sangat jarang kita menghayati dan mempelajari dengan seksama apa yang terkandung dalam sebuah ritual. Syahdan, setelah dewasa kita terlena dengan ideologi transnasional yang membabi buta, hingga berwujud kekacauan demi kekacauan. Maka perlu adanya penegakan sistema filter terhadap ideologi transnasional agar kita dapat kembali hidup berdampingan, bersaudara di bumi pertiwi Indonesia Raya.